BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang.
Dalam
kehidupan manusia, pengangkutan memegang peranan yang sangat penting. Demikian
juga halnya dalam dunia perdagangan, bahkan pengangkutan memegang peranan yang
mutlak, sebab tanpa pengangkutan perusahaan akan mengalami kesulitan untuk
dapat berjalan. Nilai suatu barang tidak hanya tergantung dari barang itu
sendiri, tetapi juga tergantung pada tempat dimana barang itu berada, sehingga
dengan pengangkutan nilai suatu barang akan meningkat.
Sifat
dari perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik, artinya
masing-masing pihak mempunyai kewajiban-kewajiban sendiri-sendiri. Pihak
pengangkut berkewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang
dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengiriman
berkewajiban untuk membayar uang angkutan.
Pada
dasarnya fungsi pengangkutan adalah untuk memindahkan barang atau orang dari
suatu tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Pengangkutan tidak hanya meliputi pengangkutan
barang, namun juga manusia/orang yang mendapat pelayanan pengangkutan. Semisal
seseorang dapat bepergian menggunakan jasa pengangkutan yang ada di masyarakat.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana hubungan hukum udara dengan
pengangkutan udara ?
2.
Bagaimana Prinsip dan Tanggung Jawab
Pengangkutan Udara ?
3.
Contoh
kasus Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300 dengan nomor penerbangan GA-421
jatuh melintang di anak Sungai Bengawan ?
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Pengertian Pengangkutan Udara
Kemajuan pengangkutan adalah
sebagai akibat kebutuhan manusia untuk bepergian ke lokasi atau tempat
yang lain guna mencari barang yang dibutuhkan atau
melakukan aktivitas, dan mengirim barang ke tempat lain yang membutuhkan suatu
barang. Pengangkutan merupakan salah satu kunci perkembangan pembangunan
dan masyarakat.
Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti mengangkat dan membawa, memuat atau mengirimkan. Sedangkan pengangkutan dapat disimpulkan sebagai suatu proses kegiatan atau gerakan dari suatu tempat ke tempat lain.[1]
Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti mengangkat dan membawa, memuat atau mengirimkan. Sedangkan pengangkutan dapat disimpulkan sebagai suatu proses kegiatan atau gerakan dari suatu tempat ke tempat lain.[1]
Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan
barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Pengangkutan
didefinisikan sebagai perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda
maupun orang, karena perpindahan itu mutlak dibutuhkan dalam rangka
mencapai dan meninggikan manfaat serta efisien.
Pengangkutan udara menurut
Konversi Warsawa 1929 adalah meliputi jangka waktu
selama bagasi atau kargo tersebut berada di dalam pengawasan pengangkut, baik di pelabuhan udara atau di dalam
pesawat udara, atau di tempat lain dalam hal
terjadinya pendaratan di luar pelabuhan udara.[2]
Angkutan udara menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1995
adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat untuk mengangkut
penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandara ke
bandara yang lain atau beberapa bandara.[3]
adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat untuk mengangkut
penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandara ke
bandara yang lain atau beberapa bandara.[3]
Angkutan Udara menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari
satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.[4]
Penerbangan adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari
satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.[4]
2.2
Asas dan Tujuan Penerbangan
Berdasarkan
Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, penerbangan
diselenggarakan berdasarkan asas: [5]
a. manfaat;
b. usaha
bersama dan kekeluargaan;
c. adil
dan merata;
d. keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan;
e. kepentingan
umum;
f. keterpaduan;
g. tegaknya
hukum;
h. kemandirian;
i. keterbukaan
dan anti monopoli;
j. berwawasan
lingkungan hidup;
k. kedaulatan
negara;
l. kebangsaan;
dan
m. kenusantaraan.
Penerbangan
diselenggarakan dengan tujuan:
a. Mewujudkan
penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan
harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat;
b. memperlancar
arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan
melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian
nasional;
c. membina
jiwa kedirgantaraan;
d. menjunjung
kedaulatan negara;
e. menciptakan
daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional;
f. menunjang,
menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional;
g. memperkukuh
kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara;
h. meningkatkan
ketahanan nasional; dan
i. mempererat
hubungan antarbangsa.
2.3 Jenis
Angkutan
Kegiatan angkutan udara terdiri atas:
Kegiatan angkutan udara terdiri atas:
1. Angkutan
udara niaga, terdiri atas:
a. angkutan
udara niaga dalam negeri; dan
b. angkutan
udara niaga luar negeri.
Kegiatan
angkutan udara niaga dapat dilakukan secara berjadwal dan/atau tidak berjadwal
oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional dan/atau asing untuk mengangkut
penumpang dan kargo atau khusus mengangkut kargo.
Angkutan
udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara
nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga.
Kegiatan
angkutan udara niaga tidak berjadwal yang bersifat sementara dapat dilakukan
atas inisiatif instansi Pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha
angkutan udara niaga nasional.
Kegiatan
angkutan udara niaga tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh badan usaha
angkutan udara niaga berjadwal tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada
rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh
badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya. Kegiatan angkutan udara
niaga tidak berjadwal dapat berupa:
a. rombongan
tertentu yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama bukan untuk tujuan wisata (affinity
group);
b. kelompok
penumpang yang membeli seluruh atau sebagian kapasitas pesawat untuk melakukan
paket perjalanan termasuk pengaturan akomodasi dan transportasi lokal (inclusive
tour charter);
c. seseorang
yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara untuk kepentingan sendiri (own
use charter);
d. taksi
udara (air taxi); atau
e. kegiatan
angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya.
2. Angkutan
udara bukan niaga
Kegiatan
angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
lembaga tertentu, orang perseorangan, dan/atau badan usaha Indonesia lainnya.
Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa:
a. angkutan
udara untuk kegiatan keudaraan (aerial work);
b. angkutan
udara untuk kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan personel pesawat udara; atau
c. angkutan
udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara
niaga.
2.4 Hak dan kewajiban para pihak dalam
pengangkutan.
kewajiban-kewajiban dari pihak
pengangkut adalah sebagai berikut :
1.
Menyediakan alat pengangkut yang akan digunakan
untuk menyelenggarakan pengangkutan.:
2.
Menjaga keselamatan orang (penumpang) dan/ atau
barang yang diangkutnya. Dengan demikian maka sejak pengangkut menguasai orang
(penumpang) dan/ atau barang yang akan diangkut, maka sejak saat itulah pihak
pengangkut mulai bertanggung jawab.[6]
3.
Kewajiban yang disebutkan dalam Pasal 470 KUHD
yang meliputi[7]
a. Mengusahakan
pemeliharaan, perlengkapan atau peranakbuahan alat pengangkutnya;
b. Mengusahakan
kesanggupan alat pengangkut itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan
menurut persetujuan;
c. Memperlakukan
dengan baik dan melakukan penjagaan atas muatan yang diangkut.
4.
Menyerahkan
muatan ditempat tujuan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan dalam perjanjian.
ditetapkan dalam perjanjian.
Pasal 140 UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur tentang kewajiban pengangkut yaitu mengangkut orang dan/atau
kargo, dan pos setelah disepakatinya
perjanjian pengangkutan dan memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai
dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati,
dimana perjanjian ini dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan.
Namun pengangkut dapat membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut asal ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau adanya kerusakan itu karena terjadinya suatu peristiwa yang sepatutnya tidak dapat dicegahnya atau dihindarinya atau adanya keadaan memaksa (overmacht) atau kerusakan tersebut disebabkan karena sifat, keadaan atau cacat dari barang itu sendiri atau juga karena kesalahan pengirim.
Namun pengangkut dapat membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut asal ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau adanya kerusakan itu karena terjadinya suatu peristiwa yang sepatutnya tidak dapat dicegahnya atau dihindarinya atau adanya keadaan memaksa (overmacht) atau kerusakan tersebut disebabkan karena sifat, keadaan atau cacat dari barang itu sendiri atau juga karena kesalahan pengirim.
BAB
III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
3.1
Pengangkutan udara dalam hubungannya dengan hukum udara
Pertanggung
jawaban pengangkutan udara menjadi hal yang sangat sensitif karena dalam
pengangkutan udara kemungkinan berhubungan dengan negara-negara lain lebih
besar.Ini berarti kemungkinan persinggungan hukum antara dua negara atau lebih
menjadi lebih besar pula.Bukan hal yang mudah mengkoordinasikan dua kepentingan
yang berasal dari hukum yang berbeda tersebut sehingga perlu sebuah hukum
ataupun aturan-aturan tertentu yang mampu menaungi berbagai kepentingan
tersebut.Berdasar dari pemikiran itulah,kemudian pembahasan dalam makalah ini
diawali dengan pengenalan terhadap hukum udara internasional yang mempunyai
pengaruh besar dalam pertanggungjawaban pengangkutan udara.
Hukum
udara adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur ruang udara
dan penggunaannya untuk keperluan penerbangan.Hal yang kemudian menjadi
alasan penulis menyangkutpautkan hukum udara dalam pengangkutan adalah
karena sifat pengangkutan udara sendiri yang bersifat internasional. Hukum
udara bersumber dari perjanjian-perjanjian internasional ,undang-undang dan
peraturan nasional serta yurisprudensi.
Berikut ini adalah beberapa
perjanjian-perjanjian internasional yang menjadi sumber hukum udara
internasional :
1.
Perjanjian warsawa tahun 1929 ( Convention for
the unification of certain rules relating to internasional carriage by air )
Perjanjian
ini mengatur mengenai dokumen angkutan dan tanggungjawab pengangkutan udara
nternasional.Perjanjian ini menjadi penting karena ketentuan-ketentuan yang ada
di dalamnya baik dengan ataupun tanpa perubahan di beberapa negara diberlakukan
juga bagi pengangkutan udara domestik. Misalnya di indonesia dan Belanda.
2.
Perjanjian Roma tahun 1952 (Conventio of
damage cause by foreight aircraft to thirt parties on the surface) Perjanjian
ini mengatur mengenai pertanggungjawaban dan asuransi wajib.
3.2 Tanggung Jawab Pengangkut.
Wajib
angkut[8]
1.
Badan usaha angkutan udara niaga wajib
mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian
pengangkutan.
2.
Badan usaha angkutan udara niaga wajib
memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara
sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati.
3.
Perjanjian pengangkutan dibuktikan dengan tiket
penumpang dan dokumen muatan.
Tanggung
Jawab Pengangkut terhadap Penumpang dan/atau Pengirim Kargo[9]
1.
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian
penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan
kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.
2.
Apabila kerugian timbul karena tindakan sengaja
atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan
ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.
3.
Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian
angkutan udara dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti
kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.
Ketentuan-ketentuan
lain:
1.
Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat
menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan
surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut
diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara.
2.
Penumpang wajib didampingi oleh seorang dokter
atau perawat yang bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan
berlangsung.
3.
Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk
kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang
dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut
atau orang yang dipekerjakannya.
4.
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang
diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam
pengawasan pengangkut.
5.
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau
rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam
pengawasan pengangkut.
6.
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo,
kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut
disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.
7.
Pengangkut bertanggung jawab atas tidak
terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan
alasan kapasitas pesawat udara, dengan memberikan kompensasi kepada penumpang
berupa:
a. mengalihkan
ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau
b. memberikan
konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain
ke tempat tujuan.
3.3 Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut
Udara Terhadap Penumpang
Prinsip-prinsip
tanggung jawab khususnya untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan dalam Ordonansi Pengangkutan
Udara adalah :
1.
Prinsip Presumption of Liability
Bahwa
seseorang pengangkut dianggap perlu bertanggung jawab untuk kerugian yang
ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi dan pengangkut udara tidak
bertanggung jawab hanya bila la dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat
menghindarkan kerugian itu.
Jadi
para pihak yang dirugikan tidak usah membuktikan adanya kesalahan dan pihak
pengangkut. Prinsip ini dapat disimpulkan dan pasal 29 ayat (1) Ordonansi
Pengangkutan Udara yang berbunyi “Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk
kerugian bila ia membuktikan bahwa ia dan semua orang yang dipekerjakan itu,
telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian
atau bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan itu”[10]
Prinsip
ini oleh pihak pengangkut dirasakan terlalu berat, sebab pihak pengangkut
seolah-olah harus atau selalu bertanggung jawab apabila teradi kerugian pada
penumpang.
2.
Prinsip Limitation of Liability
Bahwa
setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab, namun bertanggung jawab
itu terbatas sampai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah diatur
dalam Ordonansi Pengangkutan Udara maupun Konvensi Warsawa. Pembatasan tanggung
jawab pengangkut udara dalam ordonansi dimaksudkan pembatasan dalam jumlah
ganti rugi yang akan dibayarkan. Ordonansi Pengangkutan Udara, pasal yang
mengatur pembatasan tanggung jawab untuk penumpang adalah pusal 30 ayat (1),
yaitu :
”Pada
pengangkutan penumpang, tanggung jawab pengangkut terhadap tiap–tiap penumpang
atau terhadap keluarganya yang disebutkan dalam pasal 24 ayat (2) bersama-sama
dibatasi sampai jumlah dua belas ribu lima ratus (Rp. 12.500,-). Jika ganti
kerugian ditetapkan sebagai suatu bunga, maka jumlah uang pokok yang dibungakan
tidak boleh melebihi jumlah di atas”[11]
Dari
dua prinsip pokok tersebut di atas ada dua penyimpangan yaitu: Pengangkutan bertanggung
jawab sampai jumlah yang dituntut tadi tidak terikat pada batas maksimum yang
ditentukan, apabila:
a. Ada
kesalahan berat dari pengangkut.
b. Ada
perubahan sengaja dari pengangkut untuk menimbulkan kerugian.
Pengangkutan
bebas sama sekali dari tanggung jawabnya. Apabila Pengangkut telah mengambil
semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian yang timbul.
Pengangkut tidak mungkin mengambil tindakan yang disebut diatas. Kerugian
timbul karena kesalahan pada pengemudian, handling pesawat atau navigasi dan
semua tindakan yang perlu untuk mencegah timbulnya kerugian.
3.4 Fungsi dan Peranan Pengangkutan Udara.
Pengangkutan
udara yang diselenggarakan oleh PT. Garuda Indonesia berfungsi sebagai sarana
perhubungan antar pulau yang tidak atau belum terjangkau oleh perhubungan darat
dan laut juga berfungsi sebagai alat pembinaan bagi tumbuh dan berkembangnya
perusahaan pengangkutan udara di Indonesia. Ditinjau dari sudut perannya
pengangkutan udara merupakan tatanan dari perhubungan, yang merupakan keterpaduan
kegiatan transportasi darat, laut dan udara, yang meliputi pengangkutan
penumpang, barang dan bagasi.
Perpaduan tersebut menentukan karakteristik
dari pengangkutan-pengangkutan udara sebagai suatu mata rantai dari tatanan
perhubungan. Pada hakekatnya pembagian tugas masing-masing peranan pengangkutan
tidak mungkin dilakukan mengingat antara pengangkutan darat, laut dan udara
saling terkait. Peranan utama dari pengangkutan udara adalah melayani kebutuhan
perhubungan nasional dan internasional dan menyediakan fasilitas transit
penumpang untuk tempat tujuan tertentu.
3.5 Contoh kasus Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300
dengan nomor penerbangan GA-421 jatuh melintang di anak Sungai Bengawan
Pada hari Rabu
tanggal 16 Januari 2002 dunia penerbangan Indonesia kembali mengalami musibah,
kali ini maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300 dengan
nomor penerbangan GA-421 jatuh melintang di anak Sungai Bengawan , Desa
Serenan, Juwiring, Kabupaten Klaten. Dalam kecelakaan tersebut seorang wanita
muda yaitu pramugari bernama Santi Anggraeni yang telah bekerja selama tujuh
tahun tewas setelah terhempas keluar dari pesawat dan hanyut oleh arus sungai
yang sedang meluap, sementara pilot Kapten Abdul Rezak bersama enam kru lainnya
serta 51 penumpangnya tiga diantaranya balita selamat dan hanya mengalami luka
memar dan patah tulang.
A.
Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang
Dengan kemajuan
teknik pada masa kini, kecelakaan-kecelakaan pesawat udara relatif jarang
terjadi. Dari angka-angka statistik dapat ditarik kesimpulan bahwa alat
pengangkutan yang paling aman adalah pesawat udara, kemudian kapal laut, lalu
kereta api dan yang paling banyak menimbulkan kecelakaan adalah mobil. Suatu
kenyataan bahwa dalam sejarah penerbangan sipil dalam negeri selama sepuluh
tahun terakhir kecelakaan pesawat udara yang terjadi di negeri kita yaitu
kecelakaan pesawat udara yang menimpa Garuda Boeing 737-300 di Sungai Bengawan
Solo.
Ordonansi
Pengangkutan Udara (OPU) Staatsblad 1939-100 menentukan bahwa pengangkut udara
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena kecelakaan yang menimpa diri
penumpang, sehingga penumpang tewas atau luka-luka. Pada umumnya kejadian, yang
menimbulkan kerugian pada diri penumpang adalah suatu kecelakaan pesawat udara.
Ada tiga pinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum, pengangkutan menurut
Saefullah Wiradipraja (1989), yaitu :
1. Prinsip
tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability). Menurut
prinsip ini setiap pengangkutan harus bertanggung jawab untuk membayar ganti
rugi atas segala kerugian yang ditimbulkan akibat dari kesalahannya. Pihak yang
menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada
pada pihak yang dirugikan bukan pada pihak pengangkut.
2. Prinsip tanggung
jawab berdasarkan praduga (presumption of liability). Menurut prinsip
ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang
timbul dari pengangkutan yang diselenggarakan. Tetapi jika pengangkut dapat
membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti rugi. Yang dimaksud dengan “tidak bersalah” adalah tidak
melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari
kerugian atau periristiwa yang menimbulkan kerugian tidak dapat dihindari.
3.
Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability). Menurut prinsip
ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti rugi terhadap setiap
kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan
pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut, pengangkut tidak dimungkinkan
membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan
kerugian itu.
Dengan menerapkan
prinsip tanggung jawab pengangkut berdasarkan atas praduga, maka undang-undang
pengangkutan di Indonesia mewajibkan pengangkut melalui perusahaan asuransi
bertanggung jawab atas kerugian yang tirnbul dari pengangkutan yang
diselenggarakannya. Tetapi karena berdasarkan atas praduga, maka pengangkut
melalui perusahaan asuransi dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila
ia mendapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah (absence of fault). Jika
dihubungkan dengan kasus kecelakaan pesawat udara Garuda Boeing 737 maka pihak
pengangkut udara (PT. Garuda) melalui perusahaan asuransi harus bertanggung jawab
untuk mengganti kerugian yang dltimbulkannya terhadap penumpang yang telah
meninggal. Pihak asuransi dapat melepaskan diri dari tanggung jawab apabila la
dapat membuktikan bahwa kecelakaan pesawat udara Garuda Boeing 737 di sungai
Bengawan Solo bukan karena kesalahan pihak pengangkut (PT.Garuda).
Dalam Pasal 29
ayat 1 dan 2 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) ditentukan bahwa pengangkut
tidak bertanggung lawab untuk kerugian, bila ia membuktikan ia dan semua orang
yang dipekerjakan olehnya berhubung dengan pengangkutan itu telah mengambil
semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tak mungkin
bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan tersebut. Sedangkan pada Pasal 24
dan 25 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) menetapkan bahwa pengangkut
bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka atau meninggalnya
penumpang dan sebagai akibat dari musnahnya, hilangnya atau rusaknya bagasi
atau barang, tanpa dengan tegas menetapkan dasar dari tanggung jawab ini.
Pasal 43 ayat 1
butir (a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan menyatakan
bahwa tanggung jawab perusahaan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini adalah apabila kematian atau lukanya penumpang diakibatkan karena
kecelakaan selama dalam pengangkutan udara dan terjadi di dalam pesawat udara
atau kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari pesawat udara. Menurut
penulis, maka pada kasus kecelakaan pesawat udara yang menimpa pesawat Garuda
Boeing 737 di sungai Bengawan Solo, pihak pengangkut (PT. Garuda) harus
bertanggung jawab terhadap korban kecelakaan pesawat udara seperti apa yang
disebutkan Pasal 43 ayat 1 butir (a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tersebut
di atas melalui perusahaan asuransi yang di tunjuk. PT Garuda dapat menjatuhkan
klaim dengan cara menyerahkan data-data tentang kerugian yang dideritanya. Dan
setelah menerima pengajuan dari tertanggung, pihak asuransi akan meneliti
kerugian untuk menyelidiki kerugian yang selanjutnya dilaporkan kepada
penanggung. Dan apabila tidak ada kebohongan dan tipu muslihat dalam kerugian
itu, maka pihak asuransi dapat mengganti kerugian sesuai dengan apa yang telah
diperjanjikannya.
B. Proses
Ganti Rugi Yang Dilakukan Penumpang Terhadap Perusahaan Penerbangan.
Pemberian ganti
rugi yang dilakukan PT. Garuda Indonesia pada kasus kecelakaan pesawan udara
Boeing 737-300 di Sungai Bengawan Solo kepada penumpang akibat kecelakaan
pesawat udara diberikan melalui proses sebagai berikut :
1. Bila telah ada
kesepakatan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh PT. Garuda Indonesia kepada
korban kecelakaan pesawat udara tanpa harus melalui pengadilan, maka proses
pemberian ganti ruginya adalah
a. Mengisi
formulir yang telah disediakan oleh PT. Garuda Indonesia yang memuat pengisian
data-data identitas pihak yang berhak atas pemberian ganti rugi itu.
b.
Mengajukan segala alat bukti :
– Tiket atau
bukti pembayaran tiket.
– Surat keterangan
dokter dan biaya-biaya pengobatan perawatan, bila penumpang akibat kecelakaan
pesawat udara tersebut dalam perawatan.
– Akta perkawinan
dari suami atau isteri penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara.
– Akta
kenal lahir (anak) dari penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara
itu, disertai penetapan fatwa waris dari pengadilan agama yang berisi penetapan
ahli waris dan besarnya bagian-bagian.
– Kartu
keluarga dari penumpang yang tewas tersebut bagi semua ahli waris yang
ditanggungnya.
c. Pihak PT.
Garuda memeriksa, memproses dan meneliti data orang yang terikat perjanjian
pengangkutan udara dalam pesawat yang tertimpa kecelakaan, benar tidaknya
luka-luka atau cacat tubuh yang diderita penumpang tersebut akibat kecelakaan
pesawat udara itu dan benar atau tidaknya orang tersebut adalah ahli waris yang
ditanggung penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara itu.
d. Bila semua
bukti yang diberikan benar, maka PT. Garuda menetapkan ganti rugi yang akan
diberikan, tetapi bila semua bukti yang diberikan tidak sesuai atau tidak benar
maka PT. Garuda berhak untuk tidak bertanggung jawab atau berhak untuk tidak
memberikan ganti rugi.
e. Bila ganti rugi
yang ditetapkan PT. Garuda itu disetujui oleh kedua beleh pihak, maka PT.
Garuda siap untuk membayar sesuai dengan kesepakatan bersama mengenai cara
pembayaran dan jangka waktunya, tetapi bila ganti rugi yang ditetapkan PT.
Garuda itu tidak disetujui oleh pihak penumpang maka penumpang dapat mengajukan
gugatan di pengadilan atau bila alat bukti yang diajukan dianggap tidak benar
oleh pihak PT. Garuda maka itupun dapat diajukan gugatan ke pengadilan.
2. Bila
tidak ada kesepakatan antara pihak korban kecelakaan pesawat udara dengan pihak
PT. Garuda mengenai besarnya ganti rugi sehingga harus melalui pengadilan, maka
proses pemberian ganti rugi adalah :
a. Pihak korban
kecelakaan pesawat udara yang merasa tidak puas atau dirugikan dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan negeri.
b. Penggugat harus
memenuhi persyaratan untuk mengajukan klaim ganti rugi yang telah diterbitkan
oleh pengadilan (telah dibicarakan pada “Prosedur pengajuan claim ganti
rugi”).
c. Setelah ada
putusan pengadilan, maka putusan tersebut diserahkan kepada kedua belah pihak
untuk dilaksanakan, dalam putusan tersebut disebutkan besarnya ganti rugi yang
harus diberikan PT. Garuda, cara pembayarannya dan jangka waktu pembayarannya.
d. Pihak korban
kecelakaan tersebut mengisi kembali formulir yang disediakan PT. Garuda
mengenai data atau identitasnya.
e. Pihak PT.
Garuda memasukkan dan memproses formulir tersebut beserta putusan pengadilan.
f. Kemudian pihak
PT. Garuda slap untuk membayar ganti rugi sesuai dengan putusan pengadilan
tersebut.
Pembayaran ganti
rugi yang diberikan pihak PT. Garuda dilakukan dalam bentuk uang rupiah dan
langsung dibayarkan kepada orang yang berhak, atau orang yang
bersangkutan. Pembayaran ganti rugi kepada ahli waris ialah PT. Garuda
rnembayar langsung hanya kepada salah seorang wakil diantara mereka yang
kemudian pembagian selanjutnya mereka atur sendiri menurut fatwa waris dari
pengadilan.
BAB
IV
PENUTUP
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada dasarnya apabila terjadi
kecelakaan pesawat udara, maka ada dua kemungkinan yang akan timbul terhadap
penumpang pesawat udara yaitu :
- Penumpang tetap hidup dan mengalami luka-luka atau cacat, atau
- Penumpang meninggal dunia atau tewas
Melihat dua kemungkinan tersebut,
ditentukan pihak-pihak yang berhak mendapatkan ganti rugi atau pihak-pihak yang
berhak untuk menuntut ganti rugi kepada pihak pengangkut udara, yaitu
a. Penumpang akibat kecelakaan
pesawat udara yang masih hidup akan tetapi mengalami luka-luka luar ataupun
dalam pada tubuh atau cacat, maka pihak yang berhak rnendapat ganti rugi adalah
penumpang itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa pihak pengangkut udara atau
perusahaan penerbangan bertanggung jawab atas kerugian sehingga akibat dari
luka-luka atau cacat yang diderita oleh seorang pengangkut udara tersebut dan
terjadi di dalam pesawat udara. Hal ini berdasarkan Pasal 24 ayat 1 Ordonansi
Pengangkutan Udara (OPU) tahun 1938-100.
b. Penumpang akibat kecelakaan
pesawat udara tewas atau meninggal dunia rnaka pihak yang berhak untuk
mendapatkan ganti rugi bila sudah ada, atau anak-anaknya bila sudah punya atau
orang tuanya. Dasar hukumnya adalah Pasal 24 ayat 2 Ordonansi Pengangkutan
Udara (OPU) tahun 1939-100
Akan tetapi untuk menghindari
penuntutan hak dari pihak yang sebenarnya tidak berhak maka dibuat kriteria dan
persyaratan bagi pihak– pihak yang hendak menuntut ganti rugi sebagai berikut :
a. Bagi penumpang yang mash hidup
clan meng daml luka-luka atau cacat pada tubuhnya -iarus membuktikan bahwa
luka-luka atau cacat tersebut adalah akiba, dari kecelakaan pesawat
uclara. Untuk hal itu diperlukan pemeriksaan dari dokter yang menentukan
apakF.h luka‑ILI’I’\a atau cacat pada tubuh penumpang benar ada setelah
terjadinya kecelakaan pesawat udara sebagai akibat dari kecelakaan tersebut
ataukah luka-luka dan cacat tubuh ini U-jlah ada sebelum penumpang naik pesawat
tersebut, diperlukan pula keterangan kesehatan penumpang pada saat penumpang
diperiksa sebelum naik ke pesawat dan keterangan tersebut di dapat dari dokter
pribadi.
b. Bila penumpang yang tewas atau
meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara, maka para ahli waris atau
orang yang menjadi tanggungan tersebut yang berhak untuk mendapatkan ganti
rugi.
Mengenai hal tersebut harus
diputuskan oleh pengadilan dengan memperlihatkan fatwa waris. Dan ketentuan
limitatif ini maka dinyatakan bahwa tidak ada orang lain yang dapat menuntut
ganti rugi selain ketiga golongan ahli waris berikut ini
- Isteri atau suami dari penumpang yang tewas atau meninggal dunia itu
dengan memperlihatkan akta perkawinan dan kartu keluarga.
- Anak dari penumpang yang tewas atau meninggal dunia itu dengan
rnemperlihatkan akta lahir dan kartu keluarga.
- Orang tua dari penumpang yang tewas atau meninggal dunia itu dengan
memperlihatkan akta lahir dan kartu keluarga.
Tetapi mengenai “orang tua’ ini
ada ketentuan tambahan bahwa orang tua yang mempunyai penghasilan sendiri tidak
dapat menuntut ganti rugi, sedangkan suami atau Isterl dan anak-anaknya dapat
menuntut ganti rugi meskipun mereka mernpunyai penghasilan sendiri.
Adapun satu pihak yang walaupun
la menderita luka-luka atau cacat tubuh maupun tewas atau meninggal dunia
akibat kecelakaan pesawat udara, akan tetapi ia atau ahli waris yang
ditanggungnya tidak berhak untuk menuntut ganti rugi, ialah penumpang gelap
(yang tidak memiliki tiket yang sah). Dalam hal ini pengangkut udara berhak
untuk tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang dideritanya, sebab ia
tidak terikat pada perjanjian pengangkutan udara tersebut sehingga segala
risiko harus ditanggungnya sendiri.
Dalam menentukan besarnya ganti
rugi yang diberikan PT. Garuda Indonesia kepada penumpang akibat kecelakaan
pesawat udara disesuaikan dengan yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 496/KMK/017/1997, yaitu
- 1.Rp. 40.000.00O3– dalam hal penumpang meninggal dunia.
- 2. Rp. 20.000.000 – dalam hal penumpang mendapat cacat tetap.
- 3. Rp. 20.000.000,- biaya perawatan dan pengobatan dokter.
Besarnya ganti rugi yang
ditetapkan di atas hanyalah merupakan batas maksimum dari besarnya ganti rugi
yang harus diberikan Sedangkan untuk batas ini minimumnya berdasarkan
kebijaksanaan perusahaan penerbangan atau ditetapkan dari putusan pengadilan
kasus per kasus. Besarnya ganti rugi yang ditetapkan tersebut menggantikan
besarnya ganti rugi yang ditetapkan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU)
pada Pasal 30 ayat 1 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan nilai yang
sekarang ini.
Besarnya ganti rugi dapat
diberikan dengan berbagai cara, yaitu :
- Pembayaran ganti rugi secara tunai sesuai dengan jumlah yang telah
disepakati bersama.
- Pembayaran ganti rugi secara berkala sesuai kesepakatan bersama dengan
jangka waktu yang telah ditentukan.
- Pembayaran ganti rugi berdasarkan perhitungan biaya-biaya yang
diperlukan dalam masa pengobatan secara berkala (Khusus bagi penumpang
yang masih hidup dan menderita luka-luka atau cacat tubuh yang sedang
dalam perawatan).
Mengenai penumpang yang masih
hidup akan tetapi luka-luka atau cacat pada tubuhnya, maka pembayaran ganti
rugi berdasarkan perhitungan biaya-biayanya sebagai berikut :
- Penghasilan yang karena kecelakaan ini tidak dapat diperoleh.
- Perawatan dan pengobatan.
- Pembedahan plastik.
- Ongkos-ongkos lain yang berkaitan dengan perawatan yang bersangkutan.
Mengenai “Pembedahan plastik” itu
harus didasarkan pada per-timbangan dokter, apakah perlu dilakukan atau
tidaknya. Dalam hal ketidakpuasan mengenai besarnya ganti rugi ini, maka dapat
mengajukan tuntutan ke pengadilan sehingga diperoleh putusan dari pengadilan
atas Jumlah ganti rugi yang harus disetului kedua belah pihak.
Sesuai
dengan pengangkutan udara yang telah diatur oleh Undang-undang , bahwa setiap
pihak memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing yang dilindungi
dan diakui dimata hukum apabila terdapat bukti tertulis. Resiko akan ditanggung
oleh pihak yang dimana kriterianya dikategorikan melalui prinsip tanggung
jawab, hak, kewajiban dan tanggung jawab memiliki kekuatan hukum, dimana
apabila ada salah satu pihak yang wan prestasi, maka pihk yang lain berhak
mengklaim atau menuntut dengan ganti rugi. Perjanjian memang perjanjian privat
yang dibuat oleh pihak pengangkut dan disetujui opeh pengguna jasa angkut,
namun terdapat pihak ketiga yaitu pemerintah yang menjembatani hubungan
diantara keduanya dengan membentuk Undang-undang tentang pengangkutan udara,
agar terjadi hubungan keseimbangan antara pihak pengangkut dan pengguna jasa
pengangkutan. Disini terbukti dengan adanya klausula yang terdapat dalam
dokumen pengangkutan adalah bersumber dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
4.2
Kritik dan
Saran:
Demikian
makalah dari kami yang mengulas tentang “Pengangkutan Udara”. Masih banyak kekurangan dalam penyelesaian
makalah kami karena keterbatasan referensi, kritik dan saran dosen pembimbing
serta membaca dibutuhkan dalam proses koreksi diri kami untuk membuat makalah
yang lebih baik lagi suatu hari. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Amin
DAFTAR PUSTAKA
a) Fadia
Fitriyanti dan Sentot Yulianugroho, September 2007, Yogyakarta, penerbit Lab
Hukum
b) Ridwan
Khairandy, Juli 2003, Yogyakarta, penerbit FH UII Pres
f)
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan
Penerbangan
g) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan
[1] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan
ketujuh edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 45.
ketujuh edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 45.
[6]
Pasal 1235 KUHPerdata.
[7]
Pasal 470 KUHD.
[8]
Undang-Undang no.1 Tahun 2009.
[9]
Undang-Undang No.1 Tahun 2009
[10]
Pasal 29 Ayat 1 Ordonasi Pengangkutan Udara.
[11]
Pasal 30 Ayat 1 Ordonasi Pengangkutan Udara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar