Kamis, 15 Desember 2016

TANGGUNG JAWAB DAN ASURANSI HUKUM ANGKUTAN UDARA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1      Latar Belakang.
Dalam kehidupan manusia, pengangkutan memegang peranan yang sangat penting. Demikian juga halnya dalam dunia perdagangan, bahkan pengangkutan memegang peranan yang mutlak, sebab tanpa pengangkutan perusahaan akan mengalami kesulitan untuk dapat berjalan. Nilai suatu barang tidak hanya tergantung dari barang itu sendiri, tetapi juga tergantung pada tempat dimana barang itu berada, sehingga dengan pengangkutan nilai suatu barang akan meningkat.
Sifat dari perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik, artinya masing-masing pihak mempunyai kewajiban-kewajiban sendiri-sendiri. Pihak pengangkut berkewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengiriman berkewajiban untuk membayar uang angkutan.
Pada dasarnya fungsi pengangkutan adalah untuk memindahkan barang atau orang dari suatu tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Pengangkutan tidak hanya meliputi pengangkutan barang, namun juga manusia/orang yang mendapat pelayanan pengangkutan. Semisal seseorang dapat bepergian menggunakan jasa pengangkutan yang ada di masyarakat.



1.2      Rumusan Masalah

1.         Bagaimana hubungan hukum udara dengan pengangkutan udara ?
2.         Bagaimana Prinsip dan Tanggung Jawab Pengangkutan Udara ?
3.         Contoh kasus Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300 dengan nomor penerbangan GA-421 jatuh melintang di anak Sungai Bengawan ?



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pengangkutan Udara
Kemajuan pengangkutan adalah sebagai akibat kebutuhan manusia untuk bepergian ke lokasi atau tempat yang lain guna mencari barang yang dibutuhkan atau melakukan aktivitas, dan mengirim barang ke tempat lain yang membutuhkan suatu barang. Pengangkutan merupakan salah satu kunci perkembangan pembangunan dan masyarakat.
Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti mengangkat dan membawa, memuat atau mengirimkan. Sedangkan pengangkutan dapat disimpulkan sebagai suatu proses kegiatan atau gerakan dari suatu tempat ke tempat lain.[1]
Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Pengangkutan didefinisikan sebagai perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak dibutuhkan dalam rangka mencapai dan meninggikan manfaat serta efisien.

Pengangkutan udara menurut Konversi Warsawa 1929 adalah meliputi jangka waktu selama bagasi atau kargo tersebut berada di dalam pengawasan pengangkut, baik di pelabuhan udara atau di dalam pesawat udara, atau di tempat lain dalam hal terjadinya pendaratan di luar pelabuhan udara.[2]

Angkutan udara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1995
adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat untuk mengangkut
penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandara ke
bandara yang lain atau beberapa bandara.[3]

Angkutan Udara menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari
satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.[4]






2.2 Asas dan Tujuan Penerbangan
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas: [5]
a.   manfaat;
b.   usaha bersama dan kekeluargaan;
c.   adil dan merata;
d.   keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
e.   kepentingan umum;
f.    keterpaduan;
g.   tegaknya hukum;
h.   kemandirian;
i.    keterbukaan dan anti monopoli;
j.    berwawasan lingkungan hidup;
k.   kedaulatan negara;
l.    kebangsaan; dan
m. kenusantaraan.
Penerbangan diselenggarakan dengan tujuan:
a.   Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat;
b.   memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;
c.   membina jiwa kedirgantaraan;
d.   menjunjung kedaulatan negara;
e.   menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional;
f.    menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional;
g.   memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara;
h.   meningkatkan ketahanan nasional; dan
i.    mempererat hubungan antarbangsa.




2.3 Jenis Angkutan
Kegiatan angkutan udara terdiri atas:
1.     Angkutan udara niaga, terdiri atas:
a.   angkutan udara niaga dalam negeri; dan
b.   angkutan udara niaga luar negeri.
Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan secara berjadwal dan/atau tidak berjadwal oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional dan/atau asing untuk mengangkut penumpang dan kargo atau khusus mengangkut kargo.
Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga.
Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang bersifat sementara dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional.
Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya. Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa:
a.   rombongan tertentu yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama bukan untuk tujuan wisata (affinity group);
b.   kelompok penumpang yang membeli seluruh atau sebagian kapasitas pesawat untuk melakukan paket perjalanan termasuk pengaturan akomodasi dan transportasi lokal (inclusive tour charter);
c.   seseorang yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara untuk kepentingan sendiri (own use charter);
d.   taksi udara (air taxi); atau
e.   kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya.

2.     Angkutan udara bukan niaga
Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga tertentu, orang perseorangan, dan/atau badan usaha Indonesia lainnya. Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa:
a.   angkutan udara untuk kegiatan keudaraan (aerial work);
b.   angkutan udara untuk kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan personel pesawat udara; atau
c.   angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga.

2.4 Hak dan kewajiban para pihak dalam pengangkutan.
kewajiban-kewajiban dari pihak pengangkut adalah sebagai berikut :
1.     Menyediakan alat pengangkut yang akan digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan.:
2.     Menjaga keselamatan orang (penumpang) dan/ atau barang yang diangkutnya. Dengan demikian maka sejak pengangkut menguasai orang (penumpang) dan/ atau barang yang akan diangkut, maka sejak saat itulah pihak pengangkut mulai bertanggung jawab.[6]
3.     Kewajiban yang disebutkan dalam Pasal 470 KUHD yang meliputi[7]
a.     Mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau peranakbuahan alat pengangkutnya;
b.     Mengusahakan kesanggupan alat pengangkut itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan;
c.     Memperlakukan dengan baik dan melakukan penjagaan atas muatan yang diangkut.
4.     Menyerahkan muatan ditempat tujuan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan dalam perjanjian.
Pasal 140 UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur tentang kewajiban pengangkut yaitu mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan dan memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati, dimana perjanjian ini dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan.
Namun pengangkut dapat membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut asal ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau adanya kerusakan itu karena terjadinya suatu peristiwa yang sepatutnya tidak dapat dicegahnya atau dihindarinya atau adanya keadaan memaksa (overmacht) atau kerusakan tersebut disebabkan karena sifat, keadaan atau cacat dari barang itu sendiri atau juga karena kesalahan pengirim.




BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengangkutan udara dalam hubungannya dengan hukum udara
Pertanggung jawaban pengangkutan udara menjadi hal yang sangat sensitif karena dalam pengangkutan udara kemungkinan berhubungan dengan negara-negara lain lebih besar.Ini berarti kemungkinan persinggungan hukum antara dua negara atau lebih menjadi lebih besar pula.Bukan  hal yang mudah mengkoordinasikan dua kepentingan  yang berasal dari hukum yang berbeda tersebut sehingga perlu sebuah hukum ataupun aturan-aturan tertentu yang  mampu menaungi berbagai kepentingan tersebut.Berdasar dari pemikiran itulah,kemudian pembahasan dalam makalah ini diawali dengan pengenalan terhadap hukum udara internasional yang mempunyai pengaruh besar dalam pertanggungjawaban pengangkutan udara.
Hukum udara adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur ruang udara dan penggunaannya untuk keperluan penerbangan.Hal yang kemudian menjadi alasan  penulis menyangkutpautkan hukum udara dalam pengangkutan adalah karena sifat pengangkutan udara sendiri yang bersifat internasional. Hukum udara bersumber dari perjanjian-perjanjian internasional ,undang-undang dan peraturan nasional serta yurisprudensi.
Berikut ini adalah beberapa perjanjian-perjanjian internasional yang menjadi sumber hukum udara internasional :
1.     Perjanjian warsawa tahun 1929 ( Convention for the unification of certain rules relating to internasional carriage by air )
Perjanjian ini mengatur mengenai dokumen angkutan dan tanggungjawab pengangkutan udara nternasional.Perjanjian ini menjadi penting karena ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya baik dengan ataupun tanpa perubahan di beberapa negara diberlakukan juga bagi pengangkutan udara domestik. Misalnya di indonesia dan Belanda.
2.      Perjanjian Roma tahun 1952 (Conventio of damage cause by foreight aircraft to thirt parties on the surface) Perjanjian ini  mengatur mengenai pertanggungjawaban dan asuransi  wajib.







3.2   Tanggung Jawab Pengangkut.
Wajib angkut[8]
1.     Badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan.
2.     Badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati.
3.     Perjanjian pengangkutan dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan.
Tanggung Jawab Pengangkut terhadap Penumpang dan/atau Pengirim Kargo[9]
1.     Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.
2.     Apabila kerugian timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.
3.     Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.

Ketentuan-ketentuan lain:
1.     Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara.
2.     Penumpang wajib didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan berlangsung.
3.     Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.
4.     Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.
5.     Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.
6.     Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.
7.     Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara, dengan memberikan kompensasi kepada penumpang berupa:
a.     mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau
b.     memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.

3.3  Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Udara Terhadap Penumpang
Prinsip-prinsip tanggung jawab khususnya untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara adalah :
1.     Prinsip Presumption of Liability
Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi dan pengangkut udara tidak bertanggung jawab hanya bila la dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu.
Jadi para pihak yang dirugikan tidak usah membuktikan adanya kesalahan dan pihak pengangkut. Prinsip ini dapat disimpulkan dan pasal 29 ayat (1) Ordonansi Pengangkutan Udara yang berbunyi “Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian bila ia membuktikan bahwa ia dan semua orang yang dipekerjakan itu, telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan itu”[10]
Prinsip ini oleh pihak pengangkut dirasakan terlalu berat, sebab pihak pengangkut seolah-olah harus atau selalu bertanggung jawab apabila teradi kerugian pada penumpang.
2.     Prinsip Limitation of Liability
Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab, namun bertanggung jawab itu terbatas sampai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara maupun Konvensi Warsawa. Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara dalam ordonansi dimaksudkan pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan. Ordonansi Pengangkutan Udara, pasal yang mengatur pembatasan tanggung jawab untuk penumpang adalah pusal 30 ayat (1), yaitu :
”Pada pengangkutan penumpang, tanggung jawab pengangkut terhadap tiap–tiap penumpang atau terhadap keluarganya yang disebutkan dalam pasal 24 ayat (2) bersama-sama dibatasi sampai jumlah dua belas ribu lima ratus (Rp. 12.500,-). Jika ganti kerugian ditetapkan sebagai suatu bunga, maka jumlah uang pokok yang dibungakan tidak boleh melebihi jumlah di atas”[11]
Dari dua prinsip pokok tersebut di atas ada dua penyimpangan yaitu: Pengangkutan bertanggung jawab sampai jumlah yang dituntut tadi tidak terikat pada batas maksimum yang ditentukan, apabila:
a.     Ada kesalahan berat dari pengangkut.
b.     Ada perubahan sengaja dari pengangkut untuk menimbulkan kerugian.
Pengangkutan bebas sama sekali dari tanggung jawabnya. Apabila Pengangkut telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian yang timbul. Pengangkut tidak mungkin mengambil tindakan yang disebut diatas. Kerugian timbul karena kesalahan pada pengemudian, handling pesawat atau navigasi dan semua tindakan yang perlu untuk mencegah timbulnya kerugian.

3.4  Fungsi dan Peranan Pengangkutan Udara.
Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh PT. Garuda Indonesia berfungsi sebagai sarana perhubungan antar pulau yang tidak atau belum terjangkau oleh perhubungan darat dan laut juga berfungsi sebagai alat pembinaan bagi tumbuh dan berkembangnya perusahaan pengangkutan udara di Indonesia. Ditinjau dari sudut perannya pengangkutan udara merupakan tatanan dari perhubungan, yang merupakan keterpaduan kegiatan transportasi darat, laut dan udara, yang meliputi pengangkutan penumpang, barang dan bagasi.
    Perpaduan tersebut menentukan karakteristik dari pengangkutan-pengangkutan udara sebagai suatu mata rantai dari tatanan perhubungan. Pada hakekatnya pembagian tugas masing-masing peranan pengangkutan tidak mungkin dilakukan mengingat antara pengangkutan darat, laut dan udara saling terkait. Peranan utama dari pengangkutan udara adalah melayani kebutuhan perhubungan nasional dan internasional dan menyediakan fasilitas transit penumpang untuk tempat tujuan tertentu.
3.5 Contoh kasus Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300 dengan nomor penerbangan GA-421 jatuh melintang di anak Sungai Bengawan
Pada hari Rabu tanggal 16 Januari 2002 dunia penerbangan Indonesia kembali mengalami musibah, kali ini maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300 dengan nomor penerbangan GA-421 jatuh melintang di anak Sungai Bengawan , Desa Serenan, Juwiring, Kabupaten Klaten. Dalam kecelakaan tersebut seorang wanita muda yaitu pramugari bernama Santi Anggraeni yang telah bekerja selama tujuh tahun tewas setelah terhempas keluar dari pesawat dan hanyut oleh arus sungai yang sedang meluap, sementara pilot Kapten Abdul Rezak bersama enam kru lainnya serta 51 penumpangnya tiga diantaranya balita selamat dan hanya mengalami luka memar dan patah tulang.
A. Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang
Dengan kemajuan teknik pada masa kini, kecelakaan-kecelakaan pesawat udara relatif jarang terjadi. Dari angka-angka statistik dapat ditarik kesimpulan bahwa alat pengangkutan yang paling aman adalah pesawat udara, kemudian kapal laut, lalu kereta api dan yang paling banyak menimbulkan kecelakaan adalah mobil. Suatu kenyataan bahwa dalam sejarah penerbangan sipil dalam negeri selama sepuluh tahun terakhir kecelakaan pesawat udara yang terjadi di negeri kita yaitu kecelakaan pesawat udara yang menimpa Garuda Boeing 737-300 di Sungai Bengawan Solo.
Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatsblad 1939-100 menentukan bahwa pengangkut udara bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena kecelakaan yang menimpa diri penumpang, sehingga penumpang tewas atau luka-luka. Pada umumnya kejadian, yang menimbulkan kerugian pada diri penumpang adalah suatu kecelakaan pesawat udara. Ada tiga pinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum, pengangkutan menurut Saefullah Wiradipraja (1989), yaitu :
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability). Menurut prinsip ini setiap pengangkutan harus bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi atas segala kerugian yang ditimbulkan akibat dari kesalahannya. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan bukan pada pihak pengangkut.
2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability). Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakan. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Yang dimaksud dengan “tidak bersalah” adalah tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau periristiwa yang menimbulkan kerugian tidak dapat dihindari.
3.   Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability). Menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti rugi terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut, pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.
Dengan menerapkan prinsip tanggung jawab pengangkut berdasarkan atas praduga, maka undang-undang pengangkutan di Indonesia mewajibkan pengangkut melalui perusahaan asuransi bertanggung jawab atas kerugian yang tirnbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi karena berdasarkan atas praduga, maka pengangkut melalui perusahaan asuransi dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia mendapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah (absence of fault). Jika dihubungkan dengan kasus kecelakaan pesawat udara Garuda Boeing 737 maka pihak pengangkut udara (PT. Garuda) melalui perusahaan asuransi harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang dltimbulkannya terhadap penumpang yang telah meninggal. Pihak asuransi dapat melepaskan diri dari tanggung jawab apabila la dapat membuktikan bahwa kecelakaan pesawat udara Garuda Boeing 737 di sungai Bengawan Solo bukan karena kesalahan pihak pengangkut (PT.Garuda).
Dalam Pasal 29 ayat 1 dan 2 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) ditentukan bahwa pengangkut tidak bertanggung lawab untuk kerugian, bila ia membuktikan ia dan semua orang yang dipekerjakan olehnya berhubung dengan pengangkutan itu telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan tersebut. Sedangkan pada Pasal 24 dan 25 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) menetapkan bahwa pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka atau meninggalnya penumpang dan sebagai akibat dari musnahnya, hilangnya atau rusaknya bagasi atau barang, tanpa dengan tegas menetapkan dasar dari tanggung jawab ini.
Pasal 43 ayat 1 butir (a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah apabila kematian atau lukanya penumpang diakibatkan karena kecelakaan selama dalam pengangkutan udara dan terjadi di dalam pesawat udara atau kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari pesawat udara. Menurut penulis, maka pada kasus kecelakaan pesawat udara yang menimpa pesawat Garuda Boeing 737 di sungai Bengawan Solo, pihak pengangkut (PT. Garuda) harus bertanggung jawab terhadap korban kecelakaan pesawat udara seperti apa yang disebutkan Pasal 43 ayat 1 butir (a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tersebut di atas melalui perusahaan asuransi yang di tunjuk. PT Garuda dapat menjatuhkan klaim dengan cara menyerahkan data-data tentang kerugian yang dideritanya. Dan setelah menerima pengajuan dari tertanggung, pihak asuransi akan meneliti kerugian untuk menyelidiki kerugian yang selanjutnya dilaporkan kepada penanggung. Dan apabila tidak ada kebohongan dan tipu muslihat dalam kerugian itu, maka pihak asuransi dapat mengganti kerugian sesuai dengan apa yang telah diperjanjikannya.
B. Proses Ganti Rugi Yang Dilakukan Penumpang Terhadap Perusahaan Penerbangan.
Pemberian ganti rugi yang dilakukan PT. Garuda Indonesia pada kasus kecelakaan pesawan udara Boeing 737-300 di Sungai Bengawan Solo kepada penumpang akibat kecelakaan pesawat udara diberikan melalui proses sebagai berikut :
1. Bila telah ada kesepakatan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh PT. Garuda Indonesia kepada korban kecelakaan pesawat udara tanpa harus melalui pengadilan, maka proses pemberian ganti ruginya adalah
a. Mengisi formulir yang telah disediakan oleh PT. Garuda Indonesia yang memuat pengisian data-data identitas pihak yang berhak atas pemberian ganti rugi itu.
b.   Mengajukan segala alat bukti :
–  Tiket atau bukti pembayaran tiket.
– Surat keterangan dokter dan biaya-biaya pengobatan perawatan, bila penumpang akibat kecelakaan pesawat udara tersebut dalam perawatan.
– Akta perkawinan dari suami atau isteri penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara.
–   Akta kenal lahir (anak) dari penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara itu, disertai penetapan fatwa waris dari pengadilan agama yang berisi penetapan ahli waris dan besarnya bagian-bagian.
–  Kartu keluarga dari penumpang yang tewas tersebut bagi semua ahli waris yang ditanggungnya.
c. Pihak PT. Garuda memeriksa, memproses dan meneliti data orang yang terikat perjanjian pengangkutan udara dalam pesawat yang tertimpa kecelakaan, benar tidaknya luka-luka atau cacat tubuh yang diderita penumpang tersebut akibat kecelakaan pesawat udara itu dan benar atau tidaknya orang tersebut adalah ahli waris yang ditanggung penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara itu.
d. Bila semua bukti yang diberikan benar, maka PT. Garuda menetapkan ganti rugi yang akan diberikan, tetapi bila semua bukti yang diberikan tidak sesuai atau tidak benar maka PT. Garuda berhak untuk tidak bertanggung jawab atau berhak untuk tidak memberikan ganti rugi.
e. Bila ganti rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu disetujui oleh kedua beleh pihak, maka PT. Garuda siap untuk membayar sesuai dengan kesepakatan bersama mengenai cara pembayaran dan jangka waktunya, tetapi bila ganti rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu tidak disetujui oleh pihak penumpang maka penumpang dapat mengajukan gugatan di pengadilan atau bila alat bukti yang diajukan dianggap tidak benar oleh pihak PT. Garuda maka itupun dapat diajukan gugatan ke pengadilan.
2.  Bila tidak ada kesepakatan antara pihak korban kecelakaan pesawat udara dengan pihak PT. Garuda mengenai besarnya ganti rugi sehingga harus melalui pengadilan, maka proses pemberian ganti rugi adalah :
a. Pihak korban kecelakaan pesawat udara yang merasa tidak puas atau dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.
b. Penggugat harus memenuhi persyaratan untuk mengajukan klaim ganti rugi yang telah diterbitkan oleh pengadilan (telah dibicarakan pada “Prosedur pengajuan claim ganti rugi”).
c. Setelah ada putusan pengadilan, maka putusan tersebut diserahkan kepada kedua belah pihak untuk dilaksanakan, dalam putusan tersebut disebutkan besarnya ganti rugi yang harus diberikan PT. Garuda, cara pembayarannya dan jangka waktu pembayarannya.
d. Pihak korban kecelakaan tersebut mengisi kembali formulir yang disediakan PT. Garuda mengenai data atau identitasnya.
e. Pihak PT. Garuda memasukkan dan memproses formulir tersebut beserta putusan pengadilan.
f. Kemudian pihak PT. Garuda slap untuk membayar ganti rugi sesuai dengan putusan pengadilan tersebut.
Pembayaran ganti rugi yang diberikan pihak PT. Garuda dilakukan dalam bentuk uang rupiah dan langsung dibayarkan kepada orang yang berhak, atau orang yang bersangkutan. Pembayaran ganti rugi kepada ahli waris ialah PT. Garuda rnembayar langsung hanya kepada salah seorang wakil diantara mereka yang kemudian pembagian selanjutnya mereka atur sendiri menurut fatwa waris dari pengadilan.



BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
Pada dasarnya apabila terjadi kecelakaan pesawat udara, maka ada dua kemungkinan yang akan timbul terhadap penumpang pesawat udara   yaitu :
  1. Penumpang tetap hidup dan mengalami luka-luka atau cacat, atau
  2. Penumpang meninggal dunia atau tewas
Melihat dua kemungkinan tersebut, ditentukan pihak-pihak yang berhak mendapatkan ganti rugi atau pihak-pihak yang berhak untuk menuntut ganti rugi kepada pihak pengangkut udara, yaitu
a. Penumpang akibat kecelakaan pesawat udara yang masih hidup akan tetapi mengalami luka-luka luar ataupun dalam pada tubuh atau cacat, maka pihak yang berhak rnendapat ganti rugi adalah penumpang itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa pihak pengangkut udara atau perusahaan penerbangan bertanggung jawab atas kerugian sehingga akibat dari luka-luka atau cacat yang diderita oleh seorang pengangkut udara tersebut dan terjadi di dalam pesawat udara. Hal ini berdasarkan Pasal 24 ayat 1 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) tahun 1938-100.
b. Penumpang akibat kecelakaan pesawat udara tewas atau meninggal dunia rnaka pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti rugi bila sudah ada, atau anak-anaknya bila sudah punya atau orang tuanya. Dasar hukumnya adalah Pasal 24 ayat 2 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) tahun 1939-100
Akan tetapi untuk menghindari penuntutan hak dari pihak yang sebenarnya tidak berhak maka dibuat kriteria dan persyaratan bagi pihak– pihak yang hendak menuntut ganti rugi sebagai berikut :
a. Bagi penumpang yang mash hidup clan meng daml luka-luka atau cacat pada tubuhnya -iarus membuktikan bahwa luka-luka atau cacat tersebut adalah akiba, dari kecelakaan pesawat uclara. Untuk hal itu diperlukan pemeriksaan dari dokter yang menentukan apakF.h luka‑ILI’I’\a atau cacat pada tubuh penumpang benar ada setelah terjadinya kecelakaan pesawat udara sebagai akibat dari kecelakaan tersebut ataukah luka-luka dan cacat tubuh ini U-jlah ada sebelum penumpang naik pesawat tersebut, diperlukan pula keterangan kesehatan penumpang pada saat penumpang diperiksa sebelum naik ke pesawat dan keterangan tersebut di dapat dari dokter pribadi.
b. Bila penumpang yang tewas atau meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara, maka para ahli waris atau orang yang menjadi tanggungan tersebut yang berhak untuk mendapatkan ganti rugi.
Mengenai hal tersebut harus diputuskan oleh pengadilan dengan memperlihatkan fatwa waris. Dan ketentuan limitatif ini maka dinyatakan bahwa tidak ada orang lain yang dapat menuntut ganti rugi selain ketiga golongan ahli waris berikut ini
  1. Isteri atau suami dari penumpang yang tewas atau meninggal dunia itu dengan memperlihatkan akta perkawinan dan kartu keluarga.
  2. Anak dari penumpang yang tewas atau meninggal dunia itu dengan rnemperlihatkan akta lahir dan kartu keluarga.
  3. Orang tua dari penumpang yang tewas atau meninggal dunia itu dengan memperlihatkan akta lahir dan kartu keluarga.
Tetapi mengenai “orang tua’ ini ada ketentuan tambahan bahwa orang tua yang mempunyai penghasilan sendiri tidak dapat menuntut ganti rugi, sedangkan suami atau Isterl dan anak-anaknya dapat menuntut ganti rugi meskipun mereka mernpunyai penghasilan sendiri.
Adapun satu pihak yang walaupun la menderita luka-luka atau cacat tubuh maupun tewas atau meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara, akan tetapi ia atau ahli waris yang ditanggungnya tidak berhak untuk menuntut ganti rugi, ialah penumpang gelap (yang tidak memiliki tiket yang sah). Dalam hal ini pengangkut udara berhak untuk tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang dideritanya, sebab ia tidak terikat pada perjanjian pengangkutan udara tersebut sehingga segala risiko harus ditanggungnya sendiri.
Dalam menentukan besarnya ganti rugi yang diberikan PT. Garuda Indonesia kepada penumpang akibat kecelakaan pesawat udara disesuaikan dengan yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 496/KMK/017/1997, yaitu
  1. 1.Rp. 40.000.00O3– dalam hal penumpang meninggal dunia.
  2. 2. Rp. 20.000.000 – dalam hal penumpang mendapat cacat tetap.
  3. 3. Rp. 20.000.000,- biaya perawatan dan pengobatan dokter.
Besarnya ganti rugi yang ditetapkan di atas hanyalah merupakan batas maksimum dari besarnya ganti rugi yang harus diberikan Sedangkan untuk batas ini minimumnya berdasarkan kebijaksanaan perusahaan penerbangan atau ditetapkan dari putusan pengadilan kasus per kasus. Besarnya ganti rugi yang ditetapkan tersebut menggantikan besarnya ganti rugi yang ditetapkan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) pada Pasal 30 ayat 1 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan nilai yang sekarang ini.
Besarnya ganti rugi dapat diberikan dengan berbagai cara, yaitu :
  1. Pembayaran ganti rugi secara tunai sesuai dengan jumlah yang telah disepakati bersama.
  2. Pembayaran ganti rugi secara berkala sesuai kesepakatan bersama dengan jangka waktu yang telah ditentukan.
  3. Pembayaran ganti rugi berdasarkan perhitungan biaya-biaya yang diperlukan dalam masa pengobatan secara berkala (Khusus bagi penumpang yang masih hidup dan menderita luka-luka atau cacat tubuh yang sedang dalam perawatan).
Mengenai penumpang yang masih hidup akan tetapi luka-luka atau cacat pada tubuhnya, maka pembayaran ganti rugi berdasarkan perhitungan biaya-biayanya sebagai berikut :
  1. Penghasilan yang karena kecelakaan ini tidak dapat diperoleh.
  2. Perawatan dan pengobatan.
  3. Pembedahan plastik.
  4. Ongkos-ongkos lain yang berkaitan dengan perawatan yang bersangkutan.
Mengenai “Pembedahan plastik” itu harus didasarkan pada per-timbangan dokter, apakah perlu dilakukan atau tidaknya. Dalam hal ketidakpuasan mengenai besarnya ganti rugi ini, maka dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan sehingga diperoleh putusan dari pengadilan atas Jumlah ganti rugi yang harus disetului kedua belah pihak.
Sesuai dengan pengangkutan udara yang telah diatur oleh Undang-undang , bahwa setiap pihak memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing yang dilindungi dan diakui dimata hukum apabila terdapat bukti tertulis. Resiko akan ditanggung oleh pihak yang dimana kriterianya dikategorikan melalui prinsip tanggung jawab, hak, kewajiban dan tanggung jawab memiliki kekuatan hukum, dimana apabila ada salah satu pihak yang wan prestasi, maka pihk yang lain berhak mengklaim atau menuntut dengan ganti rugi. Perjanjian memang perjanjian privat yang dibuat oleh pihak pengangkut dan disetujui opeh pengguna jasa angkut, namun terdapat pihak ketiga yaitu pemerintah yang menjembatani hubungan diantara keduanya dengan membentuk Undang-undang tentang pengangkutan udara, agar terjadi hubungan keseimbangan antara pihak pengangkut dan pengguna jasa pengangkutan. Disini terbukti dengan adanya klausula yang terdapat dalam dokumen pengangkutan adalah bersumber dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

4.2 Kritik dan Saran:
Demikian makalah dari kami yang mengulas tentang “Pengangkutan Udara”.  Masih banyak kekurangan dalam penyelesaian makalah kami karena keterbatasan referensi, kritik dan saran dosen pembimbing serta membaca dibutuhkan dalam proses koreksi diri kami untuk membuat makalah yang lebih baik lagi suatu hari. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin








DAFTAR PUSTAKA

a)     Fadia Fitriyanti dan Sentot Yulianugroho, September 2007, Yogyakarta, penerbit Lab Hukum
b)    Ridwan Khairandy, Juli 2003, Yogyakarta, penerbit FH UII Pres
f)     Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan
g)    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan



[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan
ketujuh edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 45.
[2] Pasal 18 ayat (3) Konversi Warsawa Tahun 1929.
[3] Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1995 tentang Angkutan Udara.
[4] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pasal 1 ayat (13).
[5] Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 2
[6] Pasal 1235 KUHPerdata.
[7] Pasal 470 KUHD.
[8] Undang-Undang no.1 Tahun 2009.
[9] Undang-Undang No.1 Tahun 2009
[10] Pasal 29 Ayat 1 Ordonasi Pengangkutan Udara.
[11] Pasal 30 Ayat 1 Ordonasi Pengangkutan Udara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar