Pasal
46 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan
Konsumen”) sebagai berikut:
Gugatan
atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli
waris yang bersangkutan;
b. kelompok konsumen yang mempunyai
kepentingan yang sama;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang
dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait
apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan
kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Kemudian,
penjelasan Pasal 46 ayat (1) huruf b UU Perlindungan Konsumen berbunyi:
“Undang-undang
ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class
action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat
dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.”
Atas
dasar pengaturan di atas, bila produk pelaku usaha mengakibatkan kerugian
terhadap sekelompok konsumen, kelompok konsumen tersebut dapat melakukan
gugatan perwakilan kelompok atau class action. Pengaturan lebih lanjut mengenai
tata cara beracara dalam gugatan class action dapat ditemui pada Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Class
action dikenal juga dengan istilah gugatan perwakilan kelompok. Terdapat
sejumlah definisi mengenai class action, yang berbeda dalam hal perumusan
tetapi memiliki esensi yang sama. Sejumlah ahli hukum Indonesia memberikan
rumusan atas Class Action sebagai berikut.
Menurut
Mas Achmad Santosa class action (gugatan perwakilan) merupakan prosedur
beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural bagi satu atau
sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk
memperjuangkan kepentingan ratusan, ribuan atau jutaan orang lainnya yang
mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Seseoramnh atau sejumlah orang
yang tampil sebagai penggugat disebut sebagai wakil kelas (representative
class), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut dengan class
members.[1]
Legal
standing seringkali disebut juga sebagai hak gugatan organisasi (ius standi).
Standing secara luas dapat diartikan sebagai akses orang perorangan,
kelompok/organisasi di pengadilan sebagai Pihak Penggugat. Legal standing,
Standing to Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak
seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai
penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding).[2]
Litigasi
dan Non Litigasi
Pasal
6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”) berbunyi:
“Sengketa
atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.”
Dr.
Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa
(hal. 1-2) mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam
dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak
dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses
litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu
sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana
akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak
membuahkan hasil.
Hal
serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, S.H., M.H. dalam bukunya Mediasi di
Pengadilan (hal. 8), bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian
sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim
dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Dari
hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian
sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.
Menurut
Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Arbitrase
sendiri adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS).
Frans
Winarta dalam bukunya (hal. 7-8) menguraikan pengertian masing-masing lembaga
penyelesaian sengketa di atas sebagai berikut:
a. Konsultasi: suatu tindakan yang bersifat
“personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan
pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien
sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
b. Negosiasi: suatu upaya penyelesaian
sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai
kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
c. Mediasi: cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator.
d. Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi
konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat
diterima.
e. Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk
suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya
Akan
tetapi dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di luar pengadilan
yang ternyata menjadi salah satu proses dalam penyelesaian yang dilakukan di
dalam pengadilan (litigasi). Kita ambil contoh mediasi. Dari pasal tersebut
kita ketahui bahwa mediasi itu adalah penyelesaian di luar pengadilan, akan
tetapi dalam perkembangannya, mediasi ada yang dilakukan di dalam pengadilan.
Rachmadi
Usman, (Ibid, hal. vii-viii) mengatakan dengan diberlakukannya Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai
pengganti Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan diadili oleh hakim
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama diwajibkan
terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan.
Lebih
lanjut, Rachmadi Usman, sebagaimana ia kutip dari naskah akademis yang dibuat
oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung
Republik Indonesia, mengatakan bahwa sebenarnya lembaga mediasi bukanlah
merupakan bagian dari lembaga litigasi, dimana pada mulanya lembaga mediasi
berada di luar pengadilan. Namun sekarang ini lembaga mediasi sudah menyeberang
memasuki wilayah pengadilan. Negara-negara maju pada umumnya antara lain
Amerika, Jepang, Australia, Singapore mempunyai lembaga mediasi, baik yang
berada di luar maupun di dalam pengadilan dengan berbagai istilah antara lain:
Court Integrated Mediation, Court Annexed Mediation, Court Dispute Resolution,
Court Connected ADR, Court Based ADR, dan lain-lain.
Pasal
47 UUPK berbunyi:
Penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk
menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian
yang diderita oleh konsumen.
Pemerintah
membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
[1] Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 7, Civil Liability for
Environmental Damage Indonesia, yang
disampaikan dalam pelatihan hukum lingkungan di Indonesia bekerjasama
dengan Australia, Desember 1999 – September 2000, ICEL.
[2] (Tanpa nama penulis), Legal Standing – Hak Gugat Organisasi
Lingkungan, (Makalah disampaikan pada Kursus Ham Pengacara 2007), diakses dari
www.elsam.or.id pada tanggal 20 Januari 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar