Kamis, 15 Desember 2016

Penyelesaian Sengketa Konsumen


Pasal 46 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) sebagai berikut:
Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a.      seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b.      kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c.      lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.      pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Kemudian, penjelasan Pasal 46 ayat (1) huruf b UU Perlindungan Konsumen berbunyi:
“Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.”

Atas dasar pengaturan di atas, bila produk pelaku usaha mengakibatkan kerugian terhadap sekelompok konsumen, kelompok konsumen tersebut dapat melakukan gugatan perwakilan kelompok atau class action. Pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara beracara dalam gugatan class action dapat ditemui pada Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Class action dikenal juga dengan istilah gugatan perwakilan kelompok. Terdapat sejumlah definisi mengenai class action, yang berbeda dalam hal perumusan tetapi memiliki esensi yang sama. Sejumlah ahli hukum Indonesia memberikan rumusan atas Class Action sebagai berikut.

Menurut Mas Achmad Santosa class action (gugatan perwakilan) merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural bagi satu atau sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan ratusan, ribuan atau jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Seseoramnh atau sejumlah orang yang tampil sebagai penggugat disebut sebagai wakil kelas (representative class), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut dengan class members.[1]
Legal standing seringkali disebut juga sebagai hak gugatan organisasi (ius standi). Standing secara luas dapat diartikan sebagai akses orang perorangan, kelompok/organisasi di pengadilan sebagai Pihak Penggugat. Legal standing, Standing to Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding).[2]

Litigasi dan Non Litigasi
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”) berbunyi:

“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.”

Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa (hal. 1-2) mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.

Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, S.H., M.H. dalam bukunya Mediasi di Pengadilan (hal. 8), bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dari hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.

Menurut Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Arbitrase sendiri adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS).

Frans Winarta dalam bukunya (hal. 7-8) menguraikan pengertian masing-masing lembaga penyelesaian sengketa di atas sebagai berikut:
a.    Konsultasi: suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
b.    Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
c.    Mediasi: cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
d.    Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.
e.    Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya

Akan tetapi dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di luar pengadilan yang ternyata menjadi salah satu proses dalam penyelesaian yang dilakukan di dalam pengadilan (litigasi). Kita ambil contoh mediasi. Dari pasal tersebut kita ketahui bahwa mediasi itu adalah penyelesaian di luar pengadilan, akan tetapi dalam perkembangannya, mediasi ada yang dilakukan di dalam pengadilan.

Rachmadi Usman, (Ibid, hal. vii-viii) mengatakan dengan diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai pengganti Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan.

Lebih lanjut, Rachmadi Usman, sebagaimana ia kutip dari naskah akademis yang dibuat oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengatakan bahwa sebenarnya lembaga mediasi bukanlah merupakan bagian dari lembaga litigasi, dimana pada mulanya lembaga mediasi berada di luar pengadilan. Namun sekarang ini lembaga mediasi sudah menyeberang memasuki wilayah pengadilan. Negara-negara maju pada umumnya antara lain Amerika, Jepang, Australia, Singapore mempunyai lembaga mediasi, baik yang berada di luar maupun di dalam pengadilan dengan berbagai istilah antara lain: Court Integrated Mediation, Court Annexed Mediation, Court Dispute Resolution, Court Connected ADR, Court Based ADR, dan lain-lain.
Pasal 47 UUPK berbunyi:
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.



[1] Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 7, Civil Liability for Environmental Damage Indonesia, yang  disampaikan dalam pelatihan hukum lingkungan di Indonesia bekerjasama dengan Australia, Desember 1999 – September 2000, ICEL.
[2] (Tanpa nama penulis), Legal Standing – Hak Gugat Organisasi Lingkungan, (Makalah disampaikan pada Kursus Ham Pengacara 2007), diakses dari www.elsam.or.id pada tanggal 20 Januari 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar